BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kesehatan jiwa merupakan suatu kondisi sehat
emosional, psikologi dan sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang
memuaskan, perilaku dan koping yang efektif, konsep diri yang positif, dan
kestabilan emosi. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan oleh perorangan,
lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan
masyarakat yang didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lain
seperti keluarga dan lingkungan sosial. Lingkungan tersebut selain menunjang
upaya kesehatan jiwa juga merupakan stressor yang dapat mempengaruhi kondisi jiwa
seseorang, pada tingkat tertentu dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam
kondisi gangguan jiwa (Videbeck, 2008).
Meningkatnya pasien dengan gangguan jiwa ini
disebabkan banyak hal. Kondisi lingkungan sosial yang semakin keras
diperkirakan menjadi salah satu penyebab meningkatnya jumlah masyarakat yang
mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk individu yang rentan terhadap
kondisi lingkungan dengan tingkat kemiskinan terlalu menekan.
Penatalaksanaan keperawatan klien dengan gangguan
jiwa adalah pemberian terapi modalitas yang salah satunya adalah Terapi
Aktifitas Kelompok (TAK). Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi
modalitas yang dilakukan perawat pada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktifitas digunakan sebagai terapi, dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan (Fortinash & Worret, 2004).
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien
ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan
tertentu fokus terapi adalah membuat sadar diri (self-awareness). Peningkatan
hubungan interpersonal, membuat perubahan, atau ketiganya.
Kelompok adalah suatu system social yang khas yang
dapat didefinisikan dan dipelajari. Sebuah kelompok terdiri dari individu yang
saling berinteraksi, interelasi, interdependensi dan saling membagikan norma
social yang sama (Stuart & Sundeen, 1998).
B. Tujuan
1.
Tujuan umum
Mengetahui pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok
Sosialisasi terhadap kemampuan pasien berinteraksi sosial.
2.
Tujuan khusus
a)
Mengidentifikasi kemampuan klien berinteraksi sosial
sebelum dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi.
b)
Mengidentifikasi kemampuan klien berinteraksi sosial setelah
diberikan dilakukan Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) Sosialisasi.
c)
Menganalisis pengaruh Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
Sosialisasi terhadap kemampuan pasien berinteraksi sosial.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
Terapi aktivitas kelompok adalah salah satu upaya
untuk memfasilitasi psikoterapis terhadap sejumlah klien pada waktu yang sama
untuk memantau dan meningkatkan hubungan antar anggota (Depkes RI, 1997).
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu anggotanya
untuk identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah laku yang
maladaptive (Stuart & Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi
modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan (Kelliat, 2005)
B. TUJUAN TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK (TAK)
Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas
kelompok secara rinci sebagai berikut:
1.
Tujuan Umum
a)
Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh
pemahaman dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.
b)
Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan
untuk berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan
memberikan tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c)
Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional
diri sendiri dengan prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri
dari rasa tidak enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
d)
Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi
psikologis seperti fungsi kognitif dan afektif.
2.
Tujuan Khusus
a)
Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang
mempunyai identifikasi diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
b)
Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang
sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam
kelompok akan ada waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk
didengar dan dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
c)
Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk
kehidupan sehari-hari, terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling
berkomunikasi yang memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam
kesehariannya.
C. DAMPAK TERAPIUTIK DARI KELOMPOK
Terjadinya interaksi yang diharapkan dalam aktivitas
kelompok dapat memberikan dampak yang bermanfaat bagi komponen yang terlibat.
Yalom (1985) dalam tulisannya mengenai terapi kelompok telah melaporkan 11
kasus yang terlibat dalam efek terapeutik dari kelompok. Faktor-faktor tersebut
adalah :
1)
Universalitas, klien mulai menyadari bahwa bukan ia
sendiri yang mempunyai masalah dan bahwa perjuangannya adalah dengan membagi
atau setidaknya dapat dimengerti oleh orang lain.
2)
Menanamkan harapan, sebagian diperantarai dengan menemukan
yang lain yang telah dapat maju dengan masalahnya, dan dengan dukungan
emosional yang diberikan oleh kelompok lainnya.
3)
Menanamkan harapan, dapat dialami karena anggota
memberikan dukungan satu sama lain dan menyumbangkan ide mereka, bukan hanya menerima
ide dari yang lainnya.
4)
Mungkin terdapat rekapitulasi korektif dari keluarga
primer yang untuk kebanyakan klien merupakan problematic. Baik terapis maupun
anggota lainnya dapat jadi resepien reaksi tranferensi yang kemudian dapat
dilakukan.
5)
Pengembangan keterampilan sosial lebih jauh dan
kemampuan untuk menghubungkan dengan yang lainnya merupakan kemungkinan. Klien
dapat memperoleh umpan balik dan mempunyai kesempatan untuk belajar dan melatih
cara baru berinteraksi.
6)
Pemasukan informasi, dapat dapat berkisar dari
memberikan informasi tentang ganguan seseorang terhadap umpan balik langsung
tentang perilaku orang dan pengaruhnya terhadap anggota kelompok lainnya.
7)
Identifikasi, prilaku imitative dan modeling dapat
dihasilkan dari terapis atau anggota lainnya memberikan model peran yang baik.
8)
Kekohesifan kelompok dan pemilikan dapat menjadi
kekuatan dalam kehidupan seseorang. Bila terapi kelompok menimbulkan
berkembangnya rasa kesatuan dan persatuan memberi pengaruh kuat dan memberi
perasaan memiliki dan menerima yang dapat menjadi kekuatan dalam kehidupan
seseorang.
9)
Pengalaman antar pribadi mencakup pentingnya belajar
berhubungan antar pribadi, bagaimana memperoleh hubungan yang lebih baik, dan
mempunyai pengalaman memperbaiki hubungan menjadi lebih baik.
10)
Atarsis dan pembagian emosi yang kuat tidak hanya
membantu mengurangi ketegangan emosi tetapi juga menguatkan perasaan kedekatan
dalam kelompok.
11)
Pembagian eksisitensial memberikan masukan untuk
mengakui keterbatasan seseorang, keterbatasan lainnya, tanggung jawab terhadap
diri seseorang.
D. INDIKASI DAN KONTRA INDIKASI TERAPI
AKTIFITAS KELOMPOK (TAK)
Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas
kelompok (Depkes RI (1997) adalah :
1)
Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu
memperoleh terapi aktifitas kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan
sosiopat, selalu diam dan autistic, delusi tak terkontrol, mudah bosan.
2)
Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa
mengikuti terapi aktifitas kelompok antara lain : sudah ada observasi dan
diagnosis yang jelas, sudah tidak terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan
wahamnya tidak terlalu berat, sehingga bisa kooperatif dan tidak mengganggu
terapi aktifitas kelompok.
3)
Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah
sakit jiwa di upayakan pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat
dalam tehnik terapi, diagnosis klien dapat bersifat heterogen, tingkat
kemampuan berpikir dan pemahaman relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan
berdasarkan problem yang sama.
E. KOMPONEN KELOMPOK
Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut
(Kelliat, 2005) :
1)
Struktur kelompok.
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi,
proses pengambilan keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur
kelompok menjaga stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan
interaksi. Struktur dalam kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota,
arah komunikasi dipandu oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara
bersama.
2)
Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok
kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu
besar akibbatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan
perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi
informasi dan interaksi yang terjadi (Kelliat, 2005).
3)
Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi
fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi.
Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali
perminggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).
F. PROSES TERAPI AKTIFITAS KELOMPOK
Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih
kompleks dari pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinnya
memerlukan pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan
kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan
terciptanya suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong
untuik membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan mekanisme
pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktifitas kelompok yang
baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya merupakan sesuatu yang belum
pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar,
terapis memulai dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga
memperkenalkan co-terapis dan kemudian mempersilakan anggota untuk
memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka
terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan serta
prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan dibicarakan dalam kelompok.
Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul klien. Ditetapkan
bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa saja termasuk
terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata yang
dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat
membiarkan sementara. Bloking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan
yang meningkatoleh karenanya terapis perlu mencarikan jalan keluar. Dari
keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa klien masih perlu mengikuti
terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang banyak bicara agar
mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat juga co-terapis membantu
mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan
terjadinya kekacauan dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus
dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar
atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh
dan di tanggapi dengan sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan
pula wasit. Terapis lebih banyak pasif atau katalisator. Terapis hendaknya
menyadari bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi
menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan
secara singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi
yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat perjanjian pada
anggota untuk pertemuan berikutnya. (Kelliat, 2005).
G. PERKEMBANGAN KELOMPOK
Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas
untuk tumbuh dan kembang. Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat
fase (Kelliat, 2005) yaitu :
1.
Fase prakelompok.
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai
kelompok adalah tujuan dari kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi
oleh perilaku pemimpin dan pelaksana kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan
tersebut. Untuk itu perlu disusun panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.
2.
Fase awal kelompok.
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya
kelompok baru. Dan peran yang baru. Fase ini terbagi dalam tiga fase (Kelliat,
2005) yaitu:
a)
Tahap orientasi.
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam
memberi pengarahan. Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama
dan melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasian, waktu pertemuan,
struktur, kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang
berbicara pada satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara
anggota kelompok diupayakan terbentuk pada fase orientasi.
b)
Tahap konflik.
Peran dependen dan independent terjadi pada tahap
ini, sebagian ingin pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih
mengarahkan, atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin. Adapula
anggota yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik peran yang
terjadi. Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antara kelompok maupun
anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini. Pemimpin perlu
memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun negative dan membantu
kelompok mengenali penyebab konflik. Serta mencegah perilaku yang tidak
produktif, seperti menuduh anggota tertentu sebagai penyebab konflik.
c)
Tahap kohesif.
Setalah tahap konflik, anggota kelompok merasakan
ikatan yang kuat satu sama lain. Perasaan positif akan semakin sering
diungkapkan. Pada tahap ini, anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang
informasi dan lebih intim satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan
kemampuan anggota kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap
akhir fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu
ditakutkan, mereka belajar persamaan dan perbedaan, anggota kelompok akan
membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatui realitas.
3.
Fase kerja kelompok.
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun
mereka bekerja keras, tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok.
Kelompok menjadi stabil dan realistis.
Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok
mencapai tujuan dan tetap menjaga kelompok kea rah pencapaian tujuan, serta
mengurangi dampak dari factor apa saja yang dapat mengurangi produktivitas
kelompok. Selain itu pemimpin juga bertindak sebagai konsultan.
Beberapa problem yang mungkin muncul adalah subgroup,
conflict, self-desclosure,dan resistance. Beberapa anggota kelompok menjadi
sangat akrab, berlomba mendapatkan perhatian pemimpin, tidak ada lagi
kerahasian karena keterbukaan sangat tinggi dan keengganan berubah perlu
didefinisikan pemimpin kelompok agar segera melakukan strukturisasi.
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari
produktivitas dan kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan
kemandirian. Pada fase ini kelompok segera masuk ke fase berikutnya yaitu
perpisahan.
4.
Fase terminasi
Terminasi dapat sementara atau akhir. Terminasi dapat
pula terjadi karena anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari
kelompok.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.
Evaluasi umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun individu. Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.
H. JENIS TERAPI KELOMPOK
Kegiatan kelompok dibedakan berdasarkan kegiatan
kelompok sebagai tindakan keperawatan pada kelompok dan terapi kelompok.
Menurut kelliat, 2005 membagi kelompok menjadi tiga yaitu :
1.
Terapi kelompok.
Terapi kelompok adalah metode pengobatan ketika klien
ditemui dalam rancangan waktu tertentu dengan tenaga yang memenuhi persyaratan
tertentu. Focus terapi kelompok adalah membuat sadar diri, peningkatan hubungan
interpersonal, membuat perubahan atau ketiganya.
2.
Kelompok terapeutik.
Kelompok terapeutik membantu mengatasi stress emosi,
penyakit fisik krisis, tumbuh kembang, atau penyesuaian social, misalnya
kelompok ibu hamil yang akan menjadi ibu, individu yang kehilangan, dan
penyakit terminal. Banyak kelompok terapeutik dikembangkan menjadi
self-help-group. Tujuan dari kelompok ini adalah sebagai berikut : mencegah
masalah kesehatan, mendidik dan mengembangkan potensi anggota kelompok,
meningkatkan kualitas kelompok. antara anggota kelompok saling membantu dalam
menyelesaiakan masalah.
3.
Terapi aktivitas kelompok (TAK).
Terapi aktivitas kelompok stimulasi persepsi adalah
terapi yang menggunakan aktivitas sebagai stimulus dan terkait dengan
pengalaman atau kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok. Hasil diskusi kelompok
dapat berupa kesepakatan persepsi atau alternative penyelesaian masalah.
Tujuan umum terapi aktivitas kelompok stimulasi
persepsi adalah klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya. Sedangkan tujuan khususnya adalah
klien dapat mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat,
klien dapat menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami.
Aktivitas terapi kelompok stimulasi persepsi dibagi
dalam empat (4) bagian yaitu :
a)
Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata sehari-hari.
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah
klien dengan perubahan perubahan persepsi sensori dan klien menarik diri yang
telah mengikuti terapi aktivitas kelompok sosialisasi. Aktivitas dibagi dalam
beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu aktivitas menonton televisi,
aktivitas membaca majalah/Koran/artikel dan aktivitas melihat gambar.
b)
Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata dan respon yang
dialami dalam kehidupan.
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah
klien dengan perilaku kekerasan yang telah kooperatif. Aktivitas dibagi dalam
beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas mengenal kekerasan
yang biasa dilakukan, aktivitas mencegah kekerasan melalui kegiatan fisik,
aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi social asertif,
aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat, aktivitas
mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.
c)
Aktivitas mempersepsikan stimulus nyata yang
menyebabkan harga diri rendah.
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah
klien gangguan konsep diri : harga diri rendah. Aktivitas ini dibagi dalam
beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas
mengidentifikasikan aspek yang membuat harga diri rendah dan aspek positif
kemempuan yang dimiliki selama hidup (di rumah dan di rumah sakit), aktivitas
melatih kemampuan yang dapat digunakan di rumah sakit dan di rumah.
d)
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan
respon yang dialami dalam kehidupan.
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah
klien yang mengalami perubahan persepsi sensori : halusinasi. Aktivitas ini
dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu : aktivitas
mengenal halusinasi, aktivitas mengusir/menghardik halusinasi, aktivitas
mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, aktivitas mengontrol
halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas mengontrol halusinasi dengan patuh
minum obat.
Sesi 1 Mengenal Halusinasi:
1.
Tujuan
a)
Klien dapat mengenal halusinasi.
b)
Klien mengenal waktu terjadinya halusinasi.
c)
Klien mengenal situasi terjadinya halusinasi.
d)
Klien mengenal perasaannya pada saat terjadi halusinasi
2.
Setting
a)
Terapis dan klien duduk bersama dalam lingkaran.
b)
Tempat tenang dan nyaman.
3.
Alat
a)
Spidol.
b)
Papan tulis/whiteboart/flipchat.
4.
Metode
a)
Diskusi dan Tanya jawab.
b)
Bermain peran/stimulasi.
5.
Langkah Kegiatan
a)
Persiapan
Memilih klien sesuai dengan indikasi, yaitu klien dengan perubahan
persepsi sensori : halusinasi, khususnya klien dengan halusinasi pendengaran
fase II : condemning. Membuat kontrak dengan klien, mempersiapkan alat dan
tempat pertemuan.
b)
Orientasi
Salam terapeutik
Salam dari terapis kepada klien, perkenalkan nama dan panggilan terapis
(pakai papan nama), menanyakan nama dan panggilan semua klien (beri papan
nama).
Evaluasi/validasi
Menanyakan perasaan klien saat ini.
Menanyakan perasaan klien saat ini.
Kontrak
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu mengenal
suara-suara yang didengar.
Terapis menjelaskan aturan main berikut : jika ada klien yang ingin
meninggalkan kelompok, harus minta ijin kepada terapis, lama kegiatan 45 menit,
setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai.
c)
Tahap kerja
Terapis menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu
mengenal suara-suara yang didengar (halusinasi) tentang isinya, waktu
terjadinya, situasi terjadinya, dan perasaan klien pada saat terjadi.
Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutanpai semua klien mendapat giliran.
Terapis meminta klien menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya, situasi yang membuat terjadi, dan perasaan klien saat terjadi halusinasi. Mulai dari klien yang sebelah kanan, secara berurutanpai semua klien mendapat giliran.
Hasilnya tulis di whiteboard. Beri pujian kepada klien yang melakukan
dengan baik.
Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari
suara yang biasa didengar.
d)
Tahap terminasi
Evaluasi
Terapis menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
Tindak lanjut.
Terapis memberikan pujian atas keberhasilan kelompok.
Tindak lanjut.
Terapis meminta klien melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya jika
terjadi halusinasi.
Kontrak yang akan datang
Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi,
menyepakati waktu dan tempat
6.
Evaluasi dan Dokumentasi
Evaluasi dilakukan pada saat proses TAK berlansung, khususnya pada tahap
kerja. Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK.
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan proses
keperawatan klien.
Format Evaluasi Terapi Aktivitas Kelompok
Stimulasi Persepsi Sesi 1:
No
Nama klien
Menyebut isi halusinasi
Menyebut waktu terjadi halusinasi
Menyebut situasi terjadi halusinasi
Menyebut perasaan saat halusinasi
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Terapi aktivitas kelompok adalah aktivitas membantu
anggotanya untuk identitas hubungan yang kurang efektif dan mengubah tingkah
laku yang maladaptive (Stuart & Sundeen, 1998).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi
modalitas yang dilakukan perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah
keperawatan yang sama. Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok
digunakan sebagai target asuhan (Kelliat, 2005).
Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas
kelompok secara rinci sebagai berikut:
1.
Tujuan umum
a)
Meningkatkan kemampuan menguji.
b)
Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk
berkumpul, berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan
tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c)
Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional
diri sendiri dengan prilaku defensif.
d)
Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi
psikologis seperti fungsi kognitif dan afektif.
2.
Tujuan khusus
a)
Meningkatkan identifikasi diri.
b)
Penyaluran emosi.
c)
Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk
kehidupan sehari-hari.
B. Saran
Diharapkan bagi tenaga perawat menjadikan Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi
sebagai tindakan keperawatan untuk setiap pasien dengan masalah gangguan jiwa
karena TAK Sosialisasi merupakan tindakan keperawatan yang efektif.