BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
manusia memiliki sejumlah dorongan, tujuan dan kebutuhan yang unik dan selalu
menuntut untuk dipuaskan. Bumi ini terdiri dari orang-orang seperti ini yang
bergerak kesegala penjuru, melalui masa dan ruang di dalam perjalanan mereka,
jika perjalanan ini dibayangkan sebagai sebuah kapsul yang memuat satu orang
yang melintasi kapsul-kapsul lain, maka setiap akan bersifat otonomi, dan
manusia tidak dapat diperhitungkan secara sosiologis; dan teori sistem umum
akan berlaku.
Di
satu segi, manusia adalah kapsul-kapsul, tetapi kebutuhan-kebutuhannya dipenuhi
dengan menjadi tergantung (dependen) dan saling bergantung (interdependen)
dengan kapsul lain. Bila semua orang dan kapsul-kapsul mereka menginginka
hal-hal yang komplemen, yaitu apa yang diinginkan oleh seseorang adalah apa
yang ingin diberikan oleh orang lain, dan apa yang ingin dipertahankan oleh
seseorang adalah apa yang tidak diinginkan oleh orang lain, maka sistem-sistem
dapat hadir dengan integrasi total. Tetapi, harmoni seperti ini tidak hadir di
dalam realita. Konflik hadir di dalam ketidak-adaan integrasi total yang
harmonis. Karenanya, konflik selalu ada, meskipun mungkin ditekan. Manusia
memang tidak berpikir, meyakini, dan menginginkan hal yang sama.
Konflik
adalah sebuah kemutlakan; pemimpin harus belajar untuk secara efektif memfasilitasi
penyelesaian konflik diantara orang-orang agar tujuan dapat tercapai. Istilah
konflik sendiri diterjemahkan dalam beberapa istilah yaitu perbedaan pendapat,
persaingan dan permusuhan. Perbedaan pendapat tidak selalu berarti perbedaan
keinginan. Oleh karena itu, konflik bersumber pada keinginan, maka perbedaan
pendapat tidak selalu berarti konflik. Persaingan sangat erat hubungannya
dengan konflik karena dalam persaingan beberapa pihak menginginkan hal yang
sama tetapi hanya satu yang mungkin mendapatkannya. Persaingan tidak sama
dengan konflik namun mudah menjurus kearah konflik, terutama bila ada
persaingan yang menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan aturan yang
disepakati. Permusuhan bukanlah konflik karena orang yang terlibat konflik bisa
saja tidak memiliki rasa permusuhan. Sebaliknya orang yang saling bermusuhan
bisa saja tidak berada dalam keadaan konflik. Konflik sendiri yidak selalu
harus dihindari karena tidak selalu negatif akibatnya.
B. Batasan
Masalah
Dalam
penulisan makalah ini, penulis membatasi masalahnya sebagai berikut :
1.
Definisi konflik
2.
Sejarah terjadinya manajemen konflik
3.
Ciri – ciri konflik
4.
Jenis-jenis konflik
5.
Penyebab konflik
6.
Proses konflik
7.
Penyelesaian konflik
8.
Hasil konflik
C. TujuanPenulisan
Adapun tujuan penulisan dari
makalah ini adalah agar mahasiswa memahami mengenai manajemen konflik itu
sendiri,bagaimana proses,penyebab hingga proses penyelesaiannya .
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Konflik
Deutsch (1969) mendefinisikan konflik sebagai suatu
perselisihan atau perjuangan yang timbul bila keseimbangan antara perasaan,
pikiran, hasrat, dan perilaku seseorang terancam. Gangguan ini mengakibatkan
ketidak-cocokkan perilaku yang mengganggu mencapai tujuan. Douglass (1979)
menyatakan bahwa konflik adalah perjuangan diantara kekuatan-kekuatan
interdependen.perjuangan ini bisa terjadi dalam individu (konflik
intrapersonal) atau di dalam kelompok (konflik intragrup) (Nielsen, 1977).
Setiap organisasi dimana manusia berinteraksi
mempunyai kemungkinan terjadi konflik. Institusi pelayanan kesehatan mempunyai
banyak kelompok-kelompok yang berinteraksi: staf dengan staf, staf dengan
pasien, staf dengan keluarga dan pengunjung, staf dengan dokter dan sebagainya.
Interaksi-interaksi ini sering menimbulkan konflik-konfik.
Konflik berhubungan dengan perasaan-perasaan
termasuk perasaan diabaikan, dipandang sebagai mana adanya, diperlakukan
sebagai budak, tidak dihargai, diabaikan, dan beban yang berlebihan.hal ini
berhubungan dengan kurangnya harga diri dan tidak dianggap berharga.
Perasaan-perasaan individu menimbulkan suatu titik kemarahan. Hal ini
mengakibatkan perilaku bermaksud jahat seperti berpikir, berdebat, atau
berkelahi. Individu dapat membiarkan perasaan dan perilakunya dalam bekerja.
Penurunan produktivitas, kadang-kadang dengan maksud tertentu, dan sengaja
dibuat kesalahan-kesalahan.
Sebagai manajer keperawatan, konflik sering terjadi
pada setiap tatanan asuhan keperawatan. Oleh karena itu, manajer harus
mempunyai dua asumsi dasar tentang konflik. Asumsi dasar yang pertama adalha
konflik merupakan hal yang tidak dapat dihindari dalam suatu organisasi. Asumsi
yang kedua adalah jika konflik dapat dikelola dengan baik, maka dapat menghasilan
suatu penyelesaian yang kreatif dan berkualitas, sehingga berdampak terhadap
peningkatan dan pengembangan produksi. Di sini, peran manajer sangat penting
dalam mengelola konflik. Manajer berusahan menggunakan konflik yang konstruktif
dalam menciptakan yang produktif. Jika konflik mengarah ke suatu yang
menghambat, maka manajer harus mengidentifikasi sejak awal dan secara aktif
melakukan intervensi supaya tidak berefek pada produktivitas dan motivasi
kerja.
B. Sejarah
Terjadinya Manajemen Konflik
Sejarah
terjadinya suatu konflik pada suatu organisasi dimulai seratus tahun yang lalu,
di mana konflik adalah suatu kejadian yang alamiah pada peristiwa yang pasti
terjadi di organisasi. Pada awal abad ke-20, konflik diindikasikan sebagai
suatu kelemahan manajemen pada suatu organisasi yang harus dihindari.
Keharmonisan suatu organisasi sangat diharapkan, tetapi konflik selau akan
merusaknya.ketika konflik mulai terjadi pada suatu organisasi, meskipun
dihindari dan ditolak namun harus tetap diselesaikan secepatnya. Konflik
sebenarnya dapat dihindari dengan mengarahkan staf kepada tujuan yang jelas
dalam melaksanakan tugas dan memfasilitasi agar staf dapat mengekspresikan
ketidakpuasannya secara langsung sehingga masalah tidak menumpuk dan bertambah
banyak.
Pada
pertengahan abad ke-19, ketika ketidakpuasan staf dan umoan balik dan atasan
tidak ada, maka konflik diterima secara pasif sebagai suatu kejadian yang
normal dalam organisasi. Oleh karena itu, seorang manajer harus belajar banyak
tentang bagaimana menyelesaikan konflik tersebut daripada berusaha
menghindarinya. Meskipun konflik dalam organisasi merupakan suatu unsur
penghambat staf dalam melaksanakan tugasnya, tetapi diakui bahwa konflik dan
kerjasama dapat terjadi secara bersamaan.
Teori
interaksi pada tahun 1970 mengemukakan bahwa konflik merupakan suatu hal yang
penting, dan secara aktif mengajak organisasi untuk menjadikan konflik sebagai
salah satu pertumbuhan produksi. Teori ini menekankan bahwa konflik dapat
mengakibatkan pertumbuhan produksi sekaligus kehancuran organisasi, keduanya
tergantung bagaimana manajer mengelolanya. Mengingat konflik adalah sesuatu
yang tidak dapat dihindarkan dalam organisasi, maka manajer harus dapat
mengelolanya dengan baik.
Konflik
dapat berupa sesuatu yang kualitatif dan kuantitatif. Meskipun konflik
berakibat terhadap stres, tetapi dapat meningkatkan produksi dan kreativitas.
Manajemen konflik yang konstruktif akan menghasilkan yang kondisinya untuk
didiskusikan sebagai suatu fenomena utama, komunikasi yang terbuka melalui mengutaraan
perasaan, dan tukar pikiran serta tanggung jawab yang menguntungkan dalam
menyelesaikan suatu perbedaan (Erwin, 1992).
C. Ciri
– Ciri Konflik
Menurut Wijono (1993 : 37) ciri-ciri konflik adalah:
1.
Setidak-tidaknya ada dua pihak secara
perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling
bertentangan.
2.
Paling tidak timbul pertentangan antara
dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan
peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3.
Munculnya interaksi yang sering kali
ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan,
mengurangu, dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan
seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan
fisik: sandang-pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan
tertentu: mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosiopsikologis
seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4.
Muncul tidakan yang saling
berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5.
Munculnya ketidakseimbangan akibat dari
usaha masing-masing pihak yang berkaitan dengan kedudukan, status sosial,
pangkat, golongan, kewajiban, kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
D. Jenis
Konflik
Menurut James A.F. Stoner dan
Charles Wankel dikenal ada lima jenis konflik yaitu konflik intrapersonal,
konflik interpersonal, konflik antar individu dan kelompok, konflik antara
kolompok dan konflik antar organisasi.
1.
Konflik Intrapersonal
Konflik intrapersonal
adalah konflik seseorang dengan dirinya sendiri. Konflik terjadi bila pada
waktu yang sama seseorang memiliki dua keinginan yang tidak mungkin dipenuhi
sekaligus. Sebagaimana diketahui bahwa dalam diri seseorang itu biasanya
terdapat hal-hal sebagai berikut:
·
Sejumlah kebutuhan-kebutuhan dan
peran-peran yang bersaing.
·
Beraneka macam cara yang berbeda yang
mendorong peranan-peranan dan kebutuhan-kebutuhan itu terlahirkan.
·
Banyaknya bentuk halangan-halangan yang
bisa terjadi diantara dorongan dan tujuan.
·
Terdapatnya baik aspek yang positif
maupin yang negatif yang menghalangi tujuan-tujuan yang diinginkan.
Hal-hal
yang di atas dalam proses adaptasi seseorang terhadap lingkungannya acapkali
menimbulkan konflik. Kalau konflik dibiarkan maka akan menimbulkan keadaan yang
tidak menyenangkan.
Ada
tiga macam bentuk konflik intrapersonal yaitu:
1) Konflik
pendekatan-pendekatan, contohnya orang yang dihadapkan pada dua pilihan yang
sama-sama menarik.
2) Konflik
pendekatan-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan dua pilihan yang sama
menyulitkan.
3) Konflik
penghindaran-penghindaran, contohnya orang yang dihadapkan pada satu hal yang
mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus.
2.
Konflik interpersonal
Konflik interpersonal
adalah pertentangan antara seseorang dengan orang lain karena pertentangan
kepentingan atau keinginan. Hal ini sering terjadi antara dua orang yang
berbeda status, jabatan, bidang kerja dan lain-lain. Konflik interpersonal ini
merupakan suatu dinamika yang amat penting dalam perilaku organisasi.
Karena konflik semacam
ini akan melibatkan beberapa peranan dari beberapa anggota organisasi yang
tidak akan bisa mempengaruhi proses pencapaian tujuan organisasi tersebut.
3.
Konflik antar individu-individu dan
kelompok-kelompok
Hal ini sering kali
berhubungan dengan cara individu menghadapi tekanan-tekanan untuk mencapai
konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka. Sebagai
contoh dapat dikatakan bahwa seseorang individu dapat dihukum oleh kelompok
kerjanya karena tidak dapat mencapai norma-norma produktivitas kelompik dimana
ia berada.
4.
Konflik antara kelompok dalam organisasi
yang sama
Konflik ini merupakan
tipe konflik yang banyak terjadi di dalam organisasi-organisasi. Konflik antar
lini dan staf, pekerja dan pekerja – manajemen merupakan dua macam bidang
konflik antara kelompok.
5.
Konflik antara organisasi
Contoh seperti di
bidang ekonomi dimana Amerika Serikat dan negara-negara lain dianggap sebagai
bentuk konflik, dan konflik ini biasanya disebut dengan persaingan. Konflik ini
berdasarkan pengalaman ternyata telah menyebabkan timbulnya pengembangan
produk-produk baru, teknologi baru dan servis baru, harga lebih rendah dan
pemanfaatan sumber daya secara lebih efisien.
E. Penyebab
konflik
1.
Perilaku Menentang
Perilaku
menentang dapat menimbulkan konflik. Yang menghasilkan perasaan bersalah pada
seseorang dimana perilaku ini ditujukan. Manajer perawat harus menentukan
perilaku bahwa seseorang yang memperlihatkan perilaku menentang dapat
menimbulkan konflik. Menentang adalah ancaman terhadap suatu dialog yang
rasional; ini mengganggu protocols penerimaan untuk interaksi orang dewasa.
Seorang
penentang menentang kewenangan manajer perawat melalui kebandelan dan perilaku
yang keras. Perilaku ini mungkin berbentuk verbal dan nonverbal.
Murphy menggambarkan
tiga versi penentang :
a. Competitive Bomber yang
mudah menolak untuk bekerja. Orang ini sering menggerutu dengan bergumam yang
dapat diterjemahkan sebagai “urus saja sendiri”. Mereka dengan wajah cemberut
pergi meninggalkan manajer perawat atau tidak masuk kerja. Penentangan
kompetitif ini dapat merusak secara agresif berupa serangan yang disengaja.
Mereka berkomentar tentang kondisi kerja yang tidak adil dan kacau, manipulasi
dan jadwal kerja yang jelek. Perilaku-perilaku ini dilakukan untuk memencing
respon manajerial. Apabila mereka mendapatkan suatu respons, mereka merajuk dan
memaksa untuk mendapatkan dukungan teman sejawat bahkan manajemen yang lebih
tinggi.
b. Martyred Accomodator yang
menggunakan kepatuhan palsu. Mereka bekerja dan mampu bekerja sama tetapi juga
sambil melakukan ejekan dan hinaan. Mereka mengeluh dan mengkritik untuk
mendapatkan dukungan yang lainnya.
c. Avoider petentangan
ini menghindarkan kesepakatan dan partisipasi. Mereka tidak berespons terhadap
manajer perawat. Apabila kondisi berubah mereka menghindar untuk
berpartisipasi.
2.
Stres
Konflik
menimbulkan stres, ketakutan, kecemasan, dan perubahan dalam hubungan
profesional. Kondisi-kondisi ini dapat meningkatkan potensial konflik. Stresor
termasuk “mendapatkan tanggung jawab yang terlalu sedikit, kurangnya
partisipasi dalam membuat keputusan, kurangnya dukungan manajerial, keharusan
untuk meningkatkan standar penampilan dan penyesuaian dengan perubahan tekologi
yang cepat”. Biaya stres pada tahun 1973 diperkirakan 1 sampai 3 persen dari
GNP (gross national product). Dan bisa saja angka tersebut meningkat setelah
tahun 1973.
Kepenatan
adalah hasil dari stres. Manajer perawat merasa penat karena mencoba untuk
mempertahankan sistem pendukung untuk memberi perawatan. Perawat klinis merasa
penat karena mencoba untuk memberikan asuhan keperawatan kualitas tinggi.
Konfrontasi,
ketidaksetujuan, dan kemarahan adalah bukti dari stres dan konflik. Stres dan
konflik disebabkan karena kurangnya hubungan yang dilaksanakan antara manusia,
termasuk harapan-harapan yang tidak terpenuhi.
Stres
pada pasien dapat menimbulkan penyakit ringan iatrogenik, komplikasi dan
pelambatan pemulihan. Hal ini dapat ditimbulkan oleh depresi dan kecemasan.
Staf yang stres tidak dapat menghasapi pasien yang stres, dan ini dapat
menimbulkan tidak efisien, ketidakpuasan kerja, dan tidak mengacuhkan
perawatan. Pada akhirnya staf terpancing kedalam konflik. Mereka juga dapat
mengalami penyakit ringan iatrogenik seperti pasien-pasien mereka. Keluarga
pasien dapat menambah stres bila tidak ditangani dengan baik. Meningkatnya
stres pada pasien dan staf menurunkan keefektifan penggunaan waktu.
Masalah-masalah ini meningkatnya biaya perawatan pasien, meningkatnya masa
sakit serta menurunnya efisiensi dan efektifitas perawatan. Dimasa yang akan
datang pasien dapat pergi kemana saja untuk mendapatka perawatan, apakah
insiatif sendiri maupun atas rekomendasi dokter, keluarga, teman, atau kenalan.
3.
Ruang
Apabila
perawat harus bekerja dalam rungan yang sempit mereka harus berinteraksi secara
konstan dengan anggota staf yang lain, pengunjung dan dokter-dokter. Terutama
pada ruangan/unit perawatan intensif yang penuh sesak. Kondisi-kondisi ini
dapat menyebabkan stres dan menimbulkan kepenatan dan pergantian.
4.
Kewenangan Dokter
Dokter-dokter
dilatih untuk berwenang terhadap perawat. Perawat masa kini ingin menjadi lebih
mandiri, mempunyai tanggung jawab profesional, dan tanggung gugat untuk
perawatan pasien. Mereka lebih banyak menggunakan waktu berada di dekat pasien
daripada dokter dan seringkali mempunyai banyak usulan yang valid dalam
mengubah tindakan terapi. Para dokter kadang-kadang melalaikan usulan-usulan
mereka, yang menunjukkan mereka tidak menginginkan umpan balik. Perawat menjadi
marah bila harga diri mereka menurun. Komunikasi gagal, terutama komunikasi dua
arah.
5.
Keyakinan, Nilai, dan Sasaran
Aktivitas
atau presepsi-presepsi yang tidak cocok menimbulkan konflik. Hal ini terbukti
apa bila perawat mempunyai keyakinan, nilai, sasaran yang berbeda dengan
manajer perawat, dokter, pasien, pengunjung, keluarga, bagian administrasi, dan
yang lainnya. Nilai-nilai perawat dapat masuk ke dalam konflik-konflik yang
berhubungan dengan personal secara etika yang termasuk perintah-perintah untuk
tidak melakukan resusitasi, pernyataan-pernyataan yang tidak manusiawi, aborsi,
adiksi, AIDS, dan masalah-masalah lainnya. Sasaran pribadi sering kali konflik
dengan sasaran organisasi, terutama berhubungan dengan pengaturan staf,
pengaturan jadwal,dan suasana bekerja.
Perawat
yang harus melanggar standar pribadinya akan melawan sistem. Hal ini dapat
merendahkan mereka dan menyebabkan hilangnya harga diri dan stres emosional.
Mereka harus mengetahuai bahwa keyakinan mereka, nilai-nilai dan sasaran
pribadinya dihargai. Seperti orang lain, perawat bertindak untuk melindungi
citra atau umum dirinya bila ditekan atau diserang. Respons mereka harus
sesuaidengan harapan orang lain terhadap mereka, sebagai mana mereka ingin
disetujui. Mereka akan mempertahankan hak-hak dan pertimbangan profesionalnya.
Egonya mudah terlika dan menjadi masalah besar dalam konflik. Pertahanan
menjadi lebih panas bila salah satu atau kedua bagian konflik tidak diinformasikan
atau dimanipulasi. Bila perawat tidak dikenal atau dihargai mereka merasa tidak
berdaya, dan mereka merasa tidak berdaya bila mereka tidak mampu mengontrol
situasi.
F. Proses
Konflik
Proses konflik dibagi
menjadi beberapa tahapan :
1.
Konflik Laten
Tahapan konflik yang
terjadi terus-menerus (laten) dalam suatu organisasi. Misalnya, kondisi tentang
keterbatasan staf dan perubahan yang cepat. Kondisi tersebut memicu pada
ketidak stabilan organisasi dan kualitas produksi, meskipun konflik yang ada
kadang tidak nampak secara nyata atau tidak pernah terjadi.
2.
Konflik yang dirasakan (felt conflict)
Konflik yang terjadi
karena adanya sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman, ketakutan, tidak percaya,
dan marah. Konflik ini disebut juga sebagai konflik affectiveness. Hal ini penting bagi seseorang untuk menerima
kondisi tidak merasakan konflik tersebut sebagai suatu masalah/ancaman terhadap
keberadaannya.
3.
Konflik yang tampak/sengaja dimunculkan
Konflik yang sengaja
dimunculkan untuk dicari solusinya. Tindakan yang dilaksanakan mungkin
menghindar, kopetisi, debat, atau mencari penyelesaian konflik. Setiap orang
secara tidak sadar belajar menggunakan kompetisi dan agresivitas dalam
menyelesaikan konflik. Sementara itu, penyelesaian konflik dalam suatu
organisasi memerlukan upaya dan strategi sehingga dapat mencapai tujuan
organisasi.
4.
Resolusi konflik
Resolusi konflik adalah
suatu penyelesaian masalah dengan cara memunculkan semua orang yang terlibat di
dalamnya dengan prinsip win-win solution.
5.
Konflik aftermath
Konflik aftermath merupakan konflik yang terjadi
akibat dari tidak terselesaikannya konflik yang pertama. Konflik ini akan
menjadi masalah besar dan bisa menjadi penyebab dari konflik yang utama bila
tidak segera diatasi atau dikurangi.
G. Penyelesaian
Suatu Konflik
Figur
9.1 Diagram Proses Konflik (Marquis dan
Huston, 1998: 314)
1)
Langkah – langkah
Vestal (1994)
menjabarkan langkah-langkah menyelesaikan suatu konflik meliputi pengkajian,
identifikasi, dan intervensi.
1.
Pengkajian
a.
Analisis situasi
Identifikasi jenis
konflik untuk menentukan waktu yang diperlukan, setelah dilakukan pengumpulan fakta
dan memvalidasi semua perkiraan melalui pengkajian lebih mendalam. Kemudian
siapa yang terlibat dan peran masing-masing. Tentukan jika situasinya dapat
diubah.
b.
Analisis dan mematikan isu yang
berkembang
Jelaskan masalah dan
prioritas fenomena yang terjadi. Tentukan masalah utama yang memerlukan suatu
penyelesaian yang dimulai dari masalah tersebut. Hindari penyelesaian semua
masalah dalam satu waktu.
c.
Menyusun tujuan
Jelaskan tujuan
spesifik yang akan dicapai.
2.
Identifikasi
a.
Mengelola perasaan
Hindari respons
emosional: marah, sebab setiap orang mempunyai respons yang berbeda terhadap
kata-kata, ekspresi dan tindakan.
3.
Intervensi
a.
Masuk pada konflik yang diyakini dapat
diselesaikan dengan baik. Selanjutnya identifikasi hasil yang positif yang akan
terjadi.
b.
Menyeleksi metode dalam penyelesaian
konflik. Penyelesaian konflik memerlukan strategi yang berbeda-beda. Seleksi
metode yang paling sesuai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
2)
Strategi Penyelesaian Konflik
Strategi
penyelesaian konflik dapat dibedakan
menjadi enam macam.
1.
Kompromi atau negosiasi
Suatu strategi
penyelesaian konflik di mana semua yang terlibat saling menyadari dan sepakat
pada keinginan bersama. Penyelesaian strategi ini sering diartikan sebagai lose-lose situation. Kedua pihak yang
terlibat saling menyerah dan menyepakati hal yang telah dibuat. Di dalam
manajemen keperawatan, strategi ini sering digunakan oleh middle dan top manajer
keperawatan.
2.
Kompetisi
Strategi ini dapat
diartikan sebagai win-lose situation. Penyelesaian
ini menekankan hanya ada satu orang atau kelompok yang menang tanpa
mempertimbangan yang kalah. Akibat negatif dari strategi ini adalah kemarahan,
putus asa, dan keinginan untuk perbaikan di masa mendatang.
3.
Akomodasi
Istilah lain yang
sering digunakan adalah cooperative
situation. Konflik ini beralawanan dengan kompetisi. Pada strategi ini,
seseorang berusaha mengakomodasi permasalahan, dan memberi kesempatan pada
orang lain untuk menang. Pada strategi ini, masalah utama yang terjadi
sebenarnya tidak terselesaikan. Strategi ini biasanya digunakan dalam politik
untuk menilai kekuasaan dengan berbagai konsekuensinya.
4.
Smoothing
Tehnik ini merupakan
penyelesaian konflik dengan cara mengurangu komponen emosional dalam konflik.
Pada strategi ini, individu yang terlibat dalam konflik berupaya mencapai
kebersamaan dari pada perbedaan dengan penuh kesadaran intropeksi diri.
Strategi ini biasanya diterapkan pada konflik yuang ringan tetapi tidak dapat
dipergunakan pada konflik yang besar, persaingan pelayanan/hasil produksi.
5.
Manghindar
Semua yang terlibat
dalam konflik, pada strategi ini menyadari tentang masalah yang dihadapi,
tetapi memilih untuk menghindar atau tidak menyelesaikan masalah. Strategi ini
biasanya dipilih bila ketidak sepakatan membahayakan kedua pihak, biaya
penyelesaian lebih besar dari pada menghindar, atau perlu orang ketiga
menyelesaikannya, atau jika masalah dapat terselesaikan dengan sendirinya.
6.
Kolaborasi
Strategi ini merupakan
strategi win-win solution. Dalam
kolaborasi kedua pihak yang terlibat menentukan tujuan bersama dan bekerja sama
dalam mencapai suatu tujuan. Karena keduanya yakin akan tercapainya suatu
tujuan yang telah ditetapkan. Strategi kolaborasi tidak akan bisa berjalan bila
kompetensi tersebut sebagai bagian dari situasi tersebut, kelompok yang
terlibat tidak mempunyai kemampuan dalam menyelesaikan masalah dan tidak adanya
kepercayaan dari kedua kelompok/seseorang (Bowditch dan Buono, 1994).
H. Hasil
Konflik
Konflik mengakibatkan hasil yang dapat diproduktif untuk pertumbuhan individu
atau organisasi. Sebaliknya konflik dapat sangat destruktif (Kramer,
Schmalenberg, 1978; Lewis, 1976; Myrtle, Glogow, 1978; Nielsen, 1977).
Deutsch (1969, 1973) mengenal empat faktor utama
yang menentuka hasil konflik; isu, kekuasaan, kemampuan menanggapi kebutuhan,
dan komunikasi. Bahasan berikut ini diberikan oleh Kramer dan Schmalenberg
(1978).
1.
Isu
Pada konflik yang
deskruktif, isu dibesarkan, dirumuskan secara luas dengan bahan secara rinci, dan
bermuatan emosi. Pada konflik yang konstruktif, isu difokuskan dan
dipertahankan dalam ukuran yang dapat ditangani. Hanya isu perifer yang
berhubungan hal popok yang didiskusikan, dan proses pilihannya adalah aksi
(diadakan) bukan reaksi.
2.
Kekuasaan
Pada kekuasaan
destruktif, situasi dipertahankan atau diubah melalui ancaman dan paksaan.
Suasananya adalah persaingan dengan hasil menga dan kalah. Kekuasaan kostruktif
meliputi penemuan jalan keluar yang dapat diterima yang mungkin berupa kompromi
atau sebuah jalan keluar yang baru; kebutuhan dan pandanga pribadi tidak
dipaksakan pada orang lain.
3.
Kemampuan menanggapi kebutuhan
Pada konflik
destruktif, hanya kebutuhan sendiri saja yang dipertimbangkan. Dengan
berjalannya waktu, seseorang menjadi semakin yakin bahwa keyakinannya dan
perilakunya adalah benar. Penyelesaian konflik yang konstruktif ditandai secara
khas oleh penyelesaian yang menanggapi kebutuhan semua pihak yang terlibat.
4.
Komunikasi
Saling tidak percaya, persepsi yang salah, dan peningkatan
muatan emosi, tentu saja
membentuk konflik yang destruktif. Penyelesaian yang konstruktif meliputi
dialog yang terbuka dan jujur, saling berbagi kekhawaturan, dan mendengarkan
dengan hasrat untuk memahami orang lain. Tujuannya adalah membuka masalah
sehingga dapat dihadapi secara efektif.
Konflik dapat bermanfaat bagi
organisasi, bila pemimpin mempunyai kemahiran dalam memfasilitasi penyelesaian
konflik yang konstruktif. Jika perbedaan pendapat tentang suatu isu di suarakan
dan jika maalah dibuka, hal ini menunjukka bahwa orang-orang terlibat dan
perduli. Lawan dari cinta bukanlah benci; tetapi ketidak pedulian. Pada cinta
dan benci terdapat energi mereka yang dicintai seseorang akan mempunyai
kekuasaan untuk menimbulkan kebencian. Ketidak pedulian bersifat kosong. Energi
ditimbilkan melaluai penyelesaian konflik yang efektif dapat digunakan secara
positif ke arah pencapaian tujuan. Nielsen (1977) mengatakan bahwa konflik
adalah “akar perubahan pribadi dan sosial” (hlm, 153). Konflik merangsang
penyelesaian masalah dan hasil penyelesaian yang kreatif, konflik dapat
dinikmati dan memungkinkan perkembangan identitas pribadi.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Konflik
dapat terjadi dalam organisasi apapun. Untuk itu manajer atau pimpinan dalam
organisasi harus mampu mengelola konflik yang terdapat dalam organisasi secara
baik agar tujuan organisasi dapat tercapai tanpa ada hambatan-hambatan yang
menciptakan terjadinya konflik. Hubungan kerja antara perawat dan personil yang lain, pasien dan keluarga
dapat menimbulkan potensial konflik. Dalam hal ini manajer perawat harus
menguasai sebagai mana mengelolah konflik.
Penyebab-penyebab
konflik termasuk perilaku menentang, stres, ruangan yang penug sesak, kewenangan
dokter, serta ketidakcocokan nilai dan sarana. Konflik dapat diselesaikan
dengan pengkajian yang meliputi analisis situasi (pengumpulan fakta), analisis
dan mematikan isu yang berkembang, dan
menyusun tujuan yang akan dicapai, kemudian denga langkah identifikasi
(mengelolah
perasaan), serta melalui langkah intervensi yakni suatu penyeleksi motode yang
paling sesuai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.
B.
Saran
Kami menyadari makalah ini masih kurang sempurna,
oleh karena itu kritik dan saran yang membangun senantiasa Kami harapkan demi
kesempurnaan makalah ini, dan untuk penyusunan makalah-makalah selanjutnya.